Langkah Society 5.0 Hadapi Pandemi Covid-19?
Revolusi teknologi ilustrasi (pixabay.com) |
Kemunculan masyarakat atau Society 5.0 dari Jepang yang menjadi cikal bakal Revolusi Industri 5.0 mengalami hambatan dalam pengembangannya akibat serangan mendadak Corona Virus Disease (Covid-19).
Meskipun demikian tekad masyarakat Matahari Terbit untuk melakukan sinergitas antara teknologi dan manusia, dinilai sejalan dengan upaya "New Normal" yang menjadi solusi hidup di tengah pandemi Covid-19. Sebagai catatan pandemi tersebut hingga Oktober 2020 telah merenggut lebih dari 1 juta nyawa manusia.
Sistem pengantaran barang menggunakan drone tanpa awak dinilai menjadi solusi penanganan Covid-19 yang salah satunya menjaga jarak.
Kemudian melakukan kegiatan secara daring yang digalakkan saat pandemi juga menjadi salah satu bagian dari Revolusi Industri 5.0 yang dimulai dengan Society 5.0 pada 2019 lalu.
Sejatinya sebelum muncul Revolusi Industri 5.0 dan serangan pandemi telah muncul Revolusi Industri 4.0 pada 2011 yang dicetuskan negara "Bavarian" Jerman.
Bila ditarik garis merah kedua revolusi industri yang menitikberatkan pada penggunaan teknologi dalam jaringan menjadi sebuah antisipasi prediksi akan munculnya pandemi seperti Covid-19.
Dengan masih belum jelasnya akhir dari pandemi tersebut di dunia, serta kebutuhan akan teknologi dalam jaringan yang kian hari semakin meningkat. Selayaknya Revolusi Industri 5.0 dan 4.0 dapat berkembang terus dengan tujuannya menyiapkan kehidupan baru yang disesuaikan dengan masa pandemi saat ini.
Di Indonesia pengembangan dua revolusi ini memang tidak secepat di negara lain karena selain minimnya sarana prasarana, sumber daya penggeraknya juga masih perlu ditingkatkan kualitas.
Meskipun demikian dengan adanya prioritas program dari daerah atau negara, bidang tersebut dapat menjadi yang utama dalam pengembangan dari revolusi tersebut.
Sebagai contoh dalam pengembangan pariwisata, pola Society 5.0 di Jepang dapat diaplikasikan. Salah satunya melalui tur wisata virtual.
Teknologi masa pandemi ilustrasi (pixabay.com) |
Tingginya intensitas penularan Covid-19 di tempat wisata menjadi juga latar belakang tur wisata virtual yang melibatkan teknologi namun juga sumber daya manusia.
Dalam hal ini wisatawan dapat menikmati suatu objek wisata hanya dengan di rumah melalui teknologi dalam jaringan berkualitas tinggi.
Bisa saja wisatawan menggunakan kacamata seperti google glass yang menjadi sarana penghubung ke tempat wisata. Sedangkan pemandu wisata yang datang langsung menngunjungi lokasi tersebut juga menggunakan kacamata yang sama.
Catatannya pandangan mata yang dilihat oleh pemandu wisata sama dengan yang dilihat oleh wisatawan di rumah. Ini akan berbeda dengan tur virtual menggunakan layar. Konsepnya seperti masuk dalam mimpi dan wisatawan benar-benar sedang merasakan ada di dalam sebuah ruangan atau pantai.
Bukan hanya itu setiap barang yang dipegang oleh pemandu wisata secara virtual namun nyata juga dapat dirasakan wisatawan di rumah. Bila perlu dikembangkan juga teknologi hologram, di mana wisatawan di rumah secara visual dihadirkan di tempat wisata sehingga dapat juga melakukan swafoto di objek wisata tersebut.
Dengan sistem ini revolusi industri tidak akan lagi mengorbankan manusia atau menghilangkan profesi. Profesi pemandu wisata tetap ada dan perusahaan wisata tetap berjalan dengan baik. Terkait biaya setidaknya dapat menggantikan biaya penginapan atau kendaraan. Untuk penanganan pandemi ini juga telah memenuhi konsep menjaga jarak
Bila dilihat memang ini membutuhkan teknologi tinggi, akan tetapi bila fokus pada pengembangannya hal tersebut dapat diwujudkan.
Konsep lain yang bisa dikembangkan yakni merancang robot tukang masak makanan. Ini bisa digunakan di rumah makan atau kafe yang memiliki cita rasa tinggi.
Dengan rendahnya pengunjung rumah makan akibat pandemi tentu menyebabkan penumpukan pesanan makanan lewat daring. Penggunaan robot pembuat makanan atau robot penyaji makanan amat dibutuhkan.
Secara berjenjang ini dapat dilakukan mulai dari pemerintah yang mendesain konsep kemudian menyerahkan kepada perguruan tinggi untuk pengembangan teknologinya. Lalu menggaet konsorsium atau penyandang dana untuk pemasaran serta kolaborasi dengan perusahaan bidang teknologi. Kemudian dilakukan pemasaran yang pada akhirnya melibatkan semua aspek.
Dengan tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada istilah Revolusi Industri melawan Pandemi Covid-19. Namun lewat revolusi industri dapat menunjang kehidupan gaya baru saat masa Pandemi.